Minggu, 06 Maret 2011

Saya pernah membaca dua tweet seorang following dalam akun twitter saya yang kurang lebih bunyinya seperti ini :

“Buat kalian yg mengalami kekerasan dalam berpacaran secara terus menerus, jangan takut dengan kata PUTUS! tinggalkan. Cinta tidak nyata dalam kasus ini”.


Dan,

"Pada umumnya, perempuan tidak langsung memutuskan hubungan dengan pacarnya setelah mengalami kekerasan, salah satu faktornya karena perempuan berharap hubungan mereka berjalan mulus & pasanganya berubah pada akhirnya (Arivia, 2003)".

Setelah membacanya, rasanya saya ingin sekali untuk mengomentari tweet tersebut sesuai dengan pemahaman saya.

Berbicara soal hubungan baik itu hubungan personal ataupun profesional, bisa dikatakan setiap orang atau biasa disebut dengan istilah “partisipan” yang telibat di dalamnya akan selalu mempertimbangkan keuntungan dan kerugian atau hal positif dan negative atau pengorbanan dan penghargaan yang didapatkannya selama berada dalam hubungan itu.

Kalau dihubungkan dengan Teori maka ini sesuai dengan Teori Pertukaran Sosial (social exchange theory) yang dikemukakan oleh John Thibaut dan Harold Kelley. Menurut teori ini setiap orang akan selalu melakukan evaluasi dengan memperhitungkan pengorbanan dan penghargaan yang ia peroleh dalam suatu hubungan yang tengah ia jalani. Jika individu tersebut merasa penghargaan yang ia dapatkan lebih besar daripada pengorbanan yang ia berikan maka ia akan cenderung mempertahankan hubungan itu. Dan sebaliknya jika ia merasa pengorbanan yang diberikannya lebih besar dari penghargaan yang diterimanya maka ia akan cenderung menarik diri dari hubungan tersebut. Teori ini mengasumsikan bahwa manusia adalah makhluk rasional yang akan selalu melakukan perhitungan.

Namun kadang-kadang ada suatu kemungkinan di mana seseorang akan tetap bertahan dalam suatu hubungan yang tidak sehat (lebih banyak pengorbanannya daripada penghargaan) karena ia merasa tidak memiliki pilihan alternative yang ia anggap lebih menguntungkan. Kondisi ini kira-kira bisa kita samakan dengan isi tweet teman (ngaku-ngaku…) saya itu.

Situasi yang dimaksud dalam tweet tersebut dapat secara umum sama dengan yang sering kita lihat atau kita dengar atau bahkan salah satu dari anda yang membaca tulisan ini pernah mengalaminya sendiri Dimana seseorang tetap bertahan untuk hidup dengan pasangannya yang kasar dan temperamental karena ia merasa takut kehilangan pasangannya yang sangat ia cintai atau ia berpikir jika ia meninggalkan hubungan itu ia takut tidak mampu hidup sendiri. Ini biasanya disebabkan oleh rasa cinta yang terlalu berlebihan sehingga seseorang terkadang rela untuk tetap tinggal dalam suatu hubungan yang sudah bisa dibilang sangat menekan dan menyiksa dirinya sendiri. Dan ini memang paling banyak terjadi pada seorang wanita.

Tidak hanya pada hubungan personal, bertahan dengan kondisi yang penuh dengan tekanan juga dapat terjadi pada hubungan profesional. Misalnya seorang karyawan yang memilih untuk tetap bekerja pada perusahaan dengan gaji yang kecil, dengan pimpinan yang arogan dan sering memaki, serta rekan-rekan kerja yang terlalu individualis karena ia tahu sulitnya mendapat pekerjaan dan takut tidak dapat lagi mencukupi kebutuhan dia dan keluarganya jika ia meninggalkan pekerjaannya itu.

Kenapa...???

Mungkin bagi sebagian besar orang jika melihat atau mendengar bahwa disekitarnya ada orang lain yang mengalami kondisi seperti itu, akan langsung berpendapat bahwa orang tersebut pastilah orang yang bodoh, tidak rasional, bahkan mungkin konyol.

Namun sebenarnya kita tidak akan pernah benar-benar tahu atau mungkin tidak pernah berusaha untuk mengerti dan memahami apa yang sebenarnya menjadi pertimbangan orang yang memilih untuk tetap berada dalam kondisi tertekan. Kebanyakan dari kita akan langsung memberikan penilaian yang kurang baik atau men-judge orang tersebut secara seenaknya.

Setiap orang yang masih memiliki akal pikiran (masih waras) pasti akan melakukan pertimbangan sebelum melakukan sesuatu. Atau kita bisa mengasumsikan bahwa setiap manusia adalah makhluk rasional. Rasional yang dimaksud disini bersifat subjektif dan tergantung situasi dan kondisi tertentu. Seseorang akan merasa bahwa setiap keputusan yang diambilnya telah melalui pertimbangan yang cukup bahkan sangat matang dan rasional pada saat itu. Dalam kondisi emosi pun seseorang masih tetap merasa apa yang dipilihnya adalah rasional karena sebenarnya ia tidak menyadari bahwa ia sedang dalam kondisi emosional. Karena justru emosilah yang membawa orang untuk berasionalisasi.

Dalam kondisi itu, dua orang ahli yaitu James White dan David Klein menjelaskan dengan menyatakan bahwa rasionalitas tidak sama dengan mengatakan bahwa seseorang berada dalam proses rasionalisasi.

Artinya pada saat orang memutuskan untuk bertahan dalam hubungan yang penuh tekanan, ia merasa telah menentukan pilihan secara rasional karena sebenarnya ia sedang berada dalam proses berasionalisasi yaitu “berusaha untuk membenarkan secara rasional apa yang dilakukannya setelah pengambilan keputusan itu terjadi”. Jadi berasionalisasi sama artinya dengan berusaha merasionalkan atau membuat sesuatu (keputusannya) tampak seolah-olah rasional setelah fakta itu muncul.

Kemungkinan Alasan lain mengapa orang berperilaku seperti itu adalah adanya perbedaan stándar yang digunakan antara orang yang satu dengan orang yang lainnya untuk mengevaluasi pengorbanan dan penghargaan dalam suatu hubungan. Karena tidak ada satu stándar yang dapat diterapkan pada semua orang untuk menentukan apa yang dimaksud pengorbanan dan penghargaan atau bisa dibilang setiap individu berbeda dalam mendefinisikan pangornbanan dan penghargaan itu sendiri. Bisa saja orang yang memilih bertahan itu tidak merasa bahwa ia telah lebih banyak berkorban bahkan merasa tetap senang berada dalam kondisi itu meskipun bagi orang-orang disekelilingnya menganggapnya bodoh (biasanya orang lain yang melihatnya mengatakan seperti ini: udah deh mendingan gak usah diterusin! Kamu tuh udah terlalu banyak ruginya… tau gak sih…???)

Perbedaan dalam mendefinisikan pengorbanan dan pernghargaaan itu terjadi karena adanya perbedaan pengalaman masing-masing orang terhadap hubungan yang pernah dijalani sebelumnya. Ada orang yang mungkin sebelumnya mengalami hal yang lebih tidak baik daripada yang sekarang sehingga ia merasa hubungan yang sekarang lebih mendingan dibandingkan yang sebelumnya. Sedangkan bagi orang yang sebelumnya mengalami hubungan yang baik daripada yang sekarang.

Terlepas dari semua itu, menurut saya pribadi sebaiknya setiap orang itu harus bersikap dan berperilaku realistis atau melihat kenyataan yang terjadi. Di sini saya tidak mengatakan bahwa orang harus bersikap dan berperilaku rasional karena siapapun bisa saja berasionalisasi.
Bersikap dan berperilakulah secara realistis…!!!

Kalau kenyataannya kita memang sudah sangat tertekan dan tersiksa sebaiknya kita meninggalkan hubungan itu karena menurut saya apapun hubungan yang kita jalani harus membahagiakan buat kita. Kalau tidak bahagia, buat apa…??? Percuma bertahan dalam suatu kondisi dengan perasaan yang tertekan dan tidak nyaman…

Hidup itu harus bahagia…!!!

Tapi balik lagi, semua tergantung dari individu masing-masing yang menjalani. Saya hanya ingin kita tidak men-judge orang lain dengan seenaknya saat ia menentukan pilihannya karena kita tidak pernah benar-benar tau apa yang menjadi pertimbangannya.

Setiap orang memang berhak memberikan penilaiannya secara pribadi terhadap apapun objek yang ada di sekelilingnya. Tapi kenapa kita tidak mau mencoba untuk berpikir dan mengerti kira-kira apa yang menjadi dasar sikap dan perilaku orang lain. meskipun mungkin cara kita memahaminya berbeda dengan apa yang diharapkannya, setidaknya kita telah mencoba untuk memahami orang lain.

Memahami

Bicara soal paham-memahami ada beberapa kalimat yang ingin saya bagikan kepada siapapun yang membaca tulisan ini yang siapa tahu saja setelah membaca dan merenungkannya Anda akan lebih dapat mengahadapi kehidupan ini lebih positif dan mengurangi sifat berprasangka pada orang lain sehingga kehidupan ini akan jauh lebih damai.

Karena sebenarnya untuk dapat hidup secara damai dan berdampingan kita tidak perlu harus selalu sehati, yang terpenting adalah bagaimana kita bisa untuk saling memahami atau mengerti satu sama lain. Bukankah perbedaan itu adalah sesuatu yang indah, unik, lucu, dan seru.

Kalimatnya seperti ini…

“Kita tidak akan pernah benar-benar bisa memahami orang lain seperti apa yang diharapkannya karena kita cenderung akan memahami orang lain beradasarkan sudut pandang dan cara kita sendiri. sebaliknya kita juga tidak akan pernah benar-benar dapat dipahami orang lain karena orang lain cenderung akan memahami kita berdasarkan sudut pandang dan caranya sendiri”.

Jadi jika kita berada pada posisi pihak yang sedang memahami orang lain dan orang lain itu merasa belum dipahami, maka sebaiknya kita tidak bersikap menentang melainkan mengatakan: “maaf, mungkin saya yang belum bisa memahami kamu tapi saya berjanji akan selalu berusaha untuk memahami kamu”.

Sedangkan jika kita berada pada pihak yang ingin dipahami dan kita merasa tidak ada yang bisa memahami kita maka kita sebaiknya jangan kecewa melainkan kita harus sadar bahwa memang tidak akan ada orang yang benar-benar bisa memahami diri kita seperti apa yang kita inginkan. Mungkin bisa dengan mengatakan: “dia pasti sudah berusaha untuk memahami saya…”

Ini bukan motivasi karena saya bukanlah seorang motivator atau lebih tepatnya belum pantas untuk menjadi motivator. Saya menyadari bahwa saya masih banyak kekurangan dan bahkan juga masih sedang mencoba dan berusaha menerapkan kalimat-kalimat itu dalam hidup saya.

Sekali lagi ini hanya pendapat pribadi dan tidak bermaksud memaksakannya pada Anda.